Makalah Muamalat

Bookmark and Share
Makalah Ekonomi-Muamalat (Jual beli, hutang piutang dan riba). postingan ini membahas tentang  materi mengenai Muamalat. dimana sub pokok materi ini membaha Jual beli, Utang piutang, Riba dll. jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang pokok pembahasan dalam makalah ini maka anda bisa memperoleh materinya pada blog ini.


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG 
 
Masyarakat Muslim umumnya sangat strick dalam urusan-urusan pribadi: salat, puasa, atau haji. Sedangkan dalam urusan-urusan sosial, yang justru merupakan kehidupan itu sendiri, tidak peduli: dalam jual-beli, utang-piutang, perdagangan, hubungan kerja, dan seterusnya. Syariat Islam tidak lagi diindahkan.


Maka, dienul Islam tinggal separuh (ibadah pribadi), separuhnya lagi (ibadah sosial, muamalat) mati. Dalam bermuamalat sehari-hari, umat Islam sama sekali tidak dapat dibedakan dari umat non-Islam, mengacu pada tata cara yang bahkan bertentangan dengan syariat Islam. Rasulullah SAW pernah menperingatkan kita: akan tiba suatu zaman ketika semua orang terlibat di dalam riba, bahkan yang tidak bermaksud memakannyapun, ikut terkena debunya. Zaman itu agaknya telah sampai di tengah kita. Kegiatan jual-beli, utang-piutang, serta perdagangan yang kita jalani sehari-hari, saat ini, tak ada yang tak terkait dengan riba.


Dalam bab ini dibahas tentang masalah muamalat termasuk didalamnya: jual beli, utang piutang, riba, musaqah, musara’ah, ariyah, hiwalah, dan jialah.


B. TUJUAN PENULIS

 
1. Untuk mengetahui tentang muamalat
2. Sebagai bahan referensi bagi yang ingin mempelajari tentang muamalat


BAB II
PEMBAHASAN

A. JUAL BELI

 
Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu dengan dasar hukum dalam surah Al-Baqrah ayat 275 dan An-Nisa ayat 29.
Macam-macam jual beli:


1. Al mastnun yaitu jual beli antara harga dengan barang
2. Syarf yaitu antara harga dengan harga
3. Salam yaitu antara barang dengan tanggungan
4. Chijar yaitu jual beli atas dasar pilihan
5. Murabahah yaitu jual didasarkan atas penentuan laba
6. Muzajadah yaitu jual beli atas dasar penambahan


Rukun jual beli:


1. Penjual dan pembali
2. Uang dan benda yang dibeli
3. Lafadz


Beberapa contoh jual beli yang tidak sah karena kurang rukun atau syaratnya:


1. Menjual binatang mencampur antara jantan dan betina dengan harga yang tertentu untuk sekali campur, jadi berarti menjual air mani jantan, ini tidak sah karena tidak maklum kadarnya. Juga tidak dapat disahkan.
2. Menjual sesuatu barang yang baru dibeli sebelum diterima.
3. Menjual buah-buahan sebelum nyata pantas dimakan.


Beberapa contoh jual beli yang sah tetapi terlarang:


1. Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar
2. Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar
3. Menghambat orang-orang dari desa ke kota, dan membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan mereka belum mengetahui harga pasar
4. Membeli barang untuk ditahan agar dijual lebih mahal
5. Menjual sesuatu yang berguna untuk maksiat kepada yng membelinya


Hukum jual beli


1. Mubah asal sesuai dengan hukum
2. Wajib, seperti wali menjual harta anak yatim karena terpaksa, begitu juga qadhi menjual harta muflis
3. Haram sebagai mana dijelaskan lebih dahulu
4. Sunnat, yaitu jual beli kepada orang yang dikasihi dan kepada orang yang sangat berhajad kepada orang itu

B. UTANG PIUTANG

 
Yaitu memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu, misalnya mengutang sebanyak Rp 100.000-, akan dibayar Rp 100.000-, sebagai mana dalam surah Al-Maidah ayat 2.


Rukun Utang Piutang


1. Lafadz. Kalimatnya “saya utangkan ini kepada engkau”, jawab : “saya mengaku berutang kepada engkau”
2. Yang berutang dan yang berpiutang
3. Barang yang diutangkan

C. RIBA 
Pengertian riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam penjelasan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tamb,ahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat islam.

Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewayang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, setelah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurut, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barangyang diterimamya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat. 


Jenis-jenis riba


Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama dibagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah, sedangkan kelompok kedua terdiri dari riba fadhl dan riba nasi’ah.


1. Riba Qardh
2. Riba Jahiliyah
3. Riba Fadhl
4. Riba Nasi’ah
Hukum Riba


Riba diharamkan karena riba sangat berbahaya bagi kehidupan perekonomian, baik perekonomian masyarakat, negara, bahkan dunia ini, karena akan mematikan potensi-potensi masyarakat, memacetkan segala proyek-proyek pembangunan dan perindustrianyang bermanfaat bagi orang banyak. Bahkan didalam firman-Nya Allah mengatakan dalam surat Al-­Baqarah 275, bahwasannya bagi orang-orang yang memakan (mengambil) riba maka tanda-tanda mereka di hari kiamat mereka tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran penyakit gila.


Dampak Negatif 


a. Bagi Individu


1. Riba memberikan dampak negatif bagi akhlak dan jiwa pelakunya. Jika diperhatikan, maka kita akan menemukan bahwa mereka yang berinteraksi dengan riba adalah individu yang secara alami memiliki sifat kikir, dada yang sempit, berhati keras, menyembah harta, tamak akan kemewahan dunia dan sifat-sifat hina lainnya.
2. Riba merupakan akhlak kaum jahiliyah. Barang siapa yang melakukannya, maka sungguh dia telah menyamakan dirinya dengan mereka. Memakan riba menunjukkan kelemahan dan lenyapnya takwa dalam diri pelakunya. Hal ini menyebabkan kerugian di dunia dan akhirat.
3. Riba menyebabkan pelakunya mendapat laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah. Rasulullah pun melaknat pemakan riba, yang memberi riba, juru tulisnya dan kedua saksinya, beliau berkata, “Mereka semua sama saja.
4. Pelaku riba biasanya jarang melakukan berbagai kebajikan, karena dirinya tidak memberikan pinjaman dengan cara yang baik, tidak memperhatikan orang yang kesulitan, tidak pula meringankan kesulitannya bahkan dirinya mempersulit dengan pemberian pinjaman yang disertai tambahan bunga.
5. Riba melunturkan rasa simpati dan kasih sayang dari diri seseorang. Karena seorang rentenir tidak akan ragu untuk mengambil seluruh harta orang yang berhutang kepadanya.


b. Bagi Masyarakat dan Perekonomian


1. Riba menimbulkan permusuhan dan kebencian antar individu dan masyarakat serta menumbuhkembangkan fitnah dan terputusnya jalinan persaudaraan.
2. Perbuatan riba mengarahkan ekonomi ke arah yang menyimpang dan hal tersebut mengakibatkan ishraf (pemborosan).
3. Riba mengakibatkan harta kaum muslimin berada dalam genggaman musuh dan hal ini salah satu musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin. Karena, mereka telah menitipkan sebagian besar harta mereka kepada bank-bank ribawi yang terletak di berbagai negara kafir. Hal ini akan melunturkan dan menghilangkan sifat ulet dan kerajinan dari kaum muslimin serta membantu kaum kuffar atau pelaku riba dalam melemahkan kaum muslimin dan mengambil manfaat dari harta mereka.
4. Maraknya praktek riba sekaligus menunjukkan rendahnya rasa simpatik antara sesama muslim, sehingga seorang muslim yang sedang kesulitan dan membutuhkan lebih “rela” pergi ke lembaga keuangan ribawi karena sulit menemukan saudara seiman yang dapat membantunya.
5. Maraknya praktek riba juga menunjukkan semakin tingginya gaya hidup konsumtif dan kapitalis di kalangan kaum muslimin, mengingat tidak sedikit kaum muslimin yang terjerat dengan hutang ribawi disebabkan menuruti hawa nafsu mereka untuk mendapatkan kebutuhan yang tidak mendesak.

D. MUSAQAH

 
Musaqah merupakan kerjasama antara orang yang memiliki tanah yang ditanami pohon menghasilkan buah-buahan dengan orang yang mampu memelihara (menyirami) pohon tersebut dengan imbalan orang yang memelihara tersebut mendapat imbalan sesuai dengan kesepakatan dari hasil panen. Musaqah berasal dari akar kata saqyu. Surat dalam Al Qur’an yang berhubungan dengan akar kata saqyu adalah Surat Ar Ra’d ayat 4 : Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang disirami dengan air yang sama.
Rasulullah s.a.w. memberi kepada Yahudi-yahudi Khaibar kebun kurma Khaibar dan tanah-tanahnya dengan perjanjian mereka akan kerjakan dengan modal mereka dan buat mereka separoh dari buahnya. (Muslim).


Rukun Musaqah


1. Yang punya kebun dan tukang kebun keadaan keduanya hendaklah orang yang sama berhak bertasarruf (membelanjakan) harta keduanya
2. Kebun, semua pohon yang berbuah boleh diparohkan demikian juga hasil pertahun (palawijaya)
3. Pekerjaan, hendaklah ditentukan masanya, seperti 1 tahun, 2 tahun atau lebih sekurang-kurangnya masa kira-kira menurut adat dalam masa itu kebun sudah mungkin berbuah
4. Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing yang punya kebun dan tukang kebun seperti ½ dan 1/3 atau berapa saja asal dengan sepakat keduanya diwaktu aqad 

E. MUZARA’AH DAN MUKHARABAH

 
Muzaraah adalah paroan sawah atau ladang, ½ atau 1/3 lebih atau kurang sedangkan benihnya dari pak tani (yang bekerja). Sedangkan Mukharabah adalah paroan sawah atau ladang, ½ atau 1/3 lebih atau kurang sedangkan benihnya dari yang punya tanah.


Setelah ulama melarang akan paroan tanah semacam ini karena apabila hanya  ditentukan penghasilan dari sebagian tanah dari kepunyaan salah seorang diantara mereka, yaitu mereka memarokan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dan sebagian tanah yang subur.


Zakat paroan tanah atau ladang


Muzaraah adalah zakatnya diwajibkan atas orang yang punya benih jadi zakat wajib bagi pak tani, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya sedangkan sewa penghasilan dari sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
Mukharabah adalah zakatnya diwajibkan atas yang punya tanah karena hakekatnya dialah yang bertanam, pak tani hanya mengambil upah bekerja, penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, zakatnya wajib atas keduanya diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.

F. IJARAH

 
Pengertian sewa menyewa ini bersifat umum yang meliputi sewa menyewa barang, jasa, tenaga (perburuhan), menyewa hewan, mengongkoskan dan sebagainya.
Dasar hukum
Sewa menyewa dibolehkan oleh semua fiqaha

G. ARIYAH

 
Memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya agar dapat dikembalikan zat barang itu. Tiap-tiap yang mungkin diambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya boleh dipinjamkan. Meminjamkan sesuatu berarti menolong orang.


Hukum meminjamkan


Dasar hukum meminjamkan sesuatu barang adalah sunnah seperti tolong menolong yang lain, kadang-kadang menjadi wajib sepaerti meminjamkan kain kepada oarang yang terpaksa dan meminjamkan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati dan kadang juga haram kalau yang dipinjamkan itu akan berguna kepada sasuatu yang haram.


Rukun meminjamkan


1. Yang meminjamkan syaratnya:


a. Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya (anak kecil dan orang yang dipaksa) tidak sah meminjamkannya.
b. Manfaat barang yang dipinjam dimiliki oleh orang yang meminjamkan walau dengan jelas wakaf atau menyewa sekalipun, karena meminjam hanya bersangkut paut dengan manfaat belum bersangkut dengan zat.
c. Yang boleh adalah dia yang meminjam rumah yang lamanya satu bulan ditinggalnya hanya ½ bulan, sisanya boleh diberikan kepada orang lain


2. Orang yang meminjamkan hendaklah dia orang yang ahli menerima kebaikan terkecuali anak kecil atau gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima kebaikan.


3. Barang yang dipinjam syaratnya:


a. Barang tertentu ada manfaatnya
b. Sewaktu diambil manfaatnya zatnya tetap (tidak rusak), oleh karena itu makanan dengan sifat makanan untuk dimakan tidak sah dipinjamkan.


4. Lafadz, kata setengah kurang sah dengan tidak berlafadz


Mengambil manfaat barang yang dipinjam


Yang meminjam boleh mengambil manfaat dari barang yang dipinjam, hanya sekedar menurut izin yang punya, atau kurang dari yang diizinkan. Misalnya dia meminjam tanah untuk menanam padi, dia diperbolehkan menanam padi atau yang sama umunya dengan padi. Tidak boleh dipergunakan uantuk tanaman yang lebih lama dari padi, terkecuali tidak ditentukan masanya.
Hilangnya barang yang dipinjam


Kalau barang yang dipinjam rusak dengan sebab pemakaian diizinkan, yang meminjam tidak mengganti, karena pinjam meminjam itu berarti percaya mempercayai, tetapi kalau dengan sebab lain dia wajib mengganti.


Menurut pendapat yang kuat, kerusakan yang hanya sedikit disebabkan karena pemakaian yang diizinkan tidaklah patut diganti karena terjadinya sebab pemakaian yang diizinkan (kaidah: ridha kepada sesuatu berarti ridha pula kepada akibatnya).

H. HIWALAH

 
Wahba Az-Zuhayli dengan mengutip kitap Al-Inayah mendefenisikan hiwalah sebagai berikut : Perpindahan hutang dari tanggungan ashil kepada muhal ‘alaih.


1. Mubil artinya orang yang mengalihkan huatang dari dirinya kepada orang lain
2. Muhal yaitu sasaran pengalihan, yang berpiutang jasa
3. Muhal alaih yaitu orang yang bertanggung jawab membayar hutang setelah terjadinya hiwalah


Rukun Hiwalah


1. Pihak yang berhutang dan berpiutang
2. Pihak yang beriutang
3. Pihak yang berhutang dan berkewajiban membayar hutang kepada muhil
4. Hutang muhil kepada muhal
5. Hutang muhal kepada alaih
6. Ijab qabul

I. JIALAH (mengupah)

 
Ji’alah adalah memberi upah kepada orang lain yang telah berjasa mengembalikan sesuatu yang berharga seperti menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang sakit. Bagi seseorang yang kehilangan sesuatu yang berharga tentu akan berupaya menemukan kembali barang yang hilang, misalnya lewat pengumuman di media massa, radio, pamflet, dsb. Pengumuman ini biasanya dibarengi dengan imbalan jasa bagi penemunya sebagai daya tarik. 


Hukum Jialah


Hukum Ji’alah atau ja’alah adalah mubah. Hal ini didasari karena ji’alah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, karena seseorang tidak mampu memenuhi semua pekerjaan dan keinginannya kecuali jika ia memberikan upah kepada orang lain untuk membantunya.
Dalil ji’alah , QS. Yusuf: 72. Para penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.&quot. Ji’alah bisa dilakukan dengan dua cara:


1. Bisa ditentukan orangnya misalnya si A.
2. Bisa secara umum siapa saja yang diberi pekerjaan mencari barang.
Rukun, Pembatalan, Hikmah Ji’alah 


Rukun


1. Ji’alah dinyatakan sah jika memenuhi rukunnya , yaitu:
2. Lafaz, mengandung arti izin kepada yg akan bekerja. Jika mengerjakan ji’alah tanpa izin orang yang menyuruh (yang punya barang), maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan.
3. Orang yang menjanjikan memberikan upah.
4. Pekerjaan (mencari barang yang hilang).
5. Upah (harus jelas), ditentukan sebelum melaksanakan pekerjaan. 


Pembatalan ji’alah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak sebelum bekerja. Pembatalan yang datang dari orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah sekalipun ia sudah bekerja. Sedangkan pembatalan dari pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dilakukan. 


Hikmah Ji’alah: 


1. Dengan ji’alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu.
2. Dengan ji’alah akan terbangun sebuah semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
 

BAB III 
PENUTUP

A. KESIMPULAN 
B. SARAN

 
Dari pembahasan makalah tentang muamalat,  jika terjadi kesalahan dan masih jauh dari yang diharapkan, kiranya memberikan suatu kritikan agar penulis bisa lebih baik lagi.


Terima kasih atas kunjungannya di blog "Menara Ilmu" semoga artikel Makalah Muamalat tentang  bermanfaat untuk anda.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Powered By Blogger