TANPA hendak memuji berlebihan, tahun 2012 adalah tahun yang indah bagi perfilman nasional.
Tahun ini lebih banyak film baik dirilis ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Lalu, tahun ini pula, setidaknya ada dua film yang berhasil membukukan angka penonton lebih dari satu juta: The Raid dan 5 cm..
Hal ini menandakan, penonton film masih mau menyisihkan uangnya beli tiket buat nonton film Indonesia asal filmnya memang asyik ditonton.
Nah, mumpung penghujung tahun, kami juga ingin memberi penilaian film-film apa saja yang menurut kami paling baik dari sekitar lebih dari 80-an film yang rilis tahun ini.
Kalau Anda rajin berkunjung ke situs ini, ada tiga orang yang biasa menulis resensi film nasional.
Wayan Diananto, wartawan edisi cetak tabloid ini paling rajin menonton film nasional di antara kami bertiga. Lalu ada Panditio Rayendra yang selalu bisa menangkap sisi baik dari sebuah film dalam ulasannya. Dan saya, Ade Irwansyah, yang tak serajin kawan-kawan saya di atas bila menonton fim nasional.
Kebiasaan yang berlaku di situs ini, jika ada film nasional yang tak saya dan Ray tonton, kami biasanya meminjam ulasan Wayan yang sudah naik di edisi cetak untuk naik juga di situs ini.
Sejak situs ini lahir, kami memang ingin rubrik ulasan mulai dari film, TV, dan musik menjadi kekuatan situs ini sebagaimana edisi cetak yang menjadi panduan penonton film dan TV selama 20 tahun lebih usia tabloid ini. Makanya, kami tidak main-main bila mengulas film atau acara TV. Situs ini juga memberikan kemerdekaan penuh pada penulis ulasan untuk menyampaikan opininya.
Itu sebabnya, opini personal atau menggunakan kata ganti orang pertama "saya" sah bagi penulis ulasan di situs ini.
Nah, menyangkut memilih film terbaik tahun ini, saya dan Ray—yang sehari-hari bekerja di situs ini—sudah membuat kriteria sebelum menentukan film yang terbaik: hanya film-film yang kami tonton di bioskop sepanjang tahun 2012, entah filmnya sudah rilis resmi di bioskop atau belum.
Kriteria ini mengandung konsekuensi. Film yang mungkin masuk daftar 10 besar tidak bisa masuk karena kami berdua belum nonton. Semisal, kami belum nonton Jakarta Hati atau Cita-citaku Setingggi Tanah yang konon termasuk film bagus tahun ini.
Tahun ini juga film omnibus, kumpulan film pendek yang digabung jadi satu film, bertebaran di bioskop. Setelah menimbang-nimbang, tidak ada omnibus yang semua karya di dalamnya punya nilai sempurna. Dari sejumlah film pendek yang disuguhkan, ada beberapa yang tak kami suka. Alhasil, ketika hendak masuk daftar 10 yang terbaik, filmnya secara keseluruhan masih kalah baik dibanding fim panjang yang punya satu cerita.
Dengan niat baik kami menulis dengan jujur catatan ini kami hendak bilang, daftar ini tak berniat membohongi Anda, sidang pembaca budiman. Karena prinsipnya ulasan film di situs ini adalah opini personal, kami tak bisa menilai lalu menuliskan opini film yang tak kami tonton.
Kami sih berharap, Anda tak kecewa atas catatan ini.
Film-film berikut kami anggap lebih baik dari semua film nasional yang kami tonton sepanjang tahun terutama karena saat kami tonton kami begitu menikmati filmnya. Bukan jumlah penonton yang jadi ukuran kami. Bukan pula karena sebuah film menang FFI lalu kami latah menaruhnya di daftar ini. Sekali lagi bukan. Melainkan filmnya memang begitu asyik saat kami tonton, memberi makanan bergizi bagi rohani dan akal, mengguncang pemikiran lebih jauh, sekaligus menyodorkan gaya bertutur yang beda.
10. RUMAH KENTANG (Sutra. Jose Purnomo)
Tahun 2012 aneka jenis dedemit masih gentayangan di bioskop Nasional. Kecuali Ramadhan-Syawal, setiap bulan film horor tak pernah absen menyapa penikmat film Indonesia. Sayangnya, hanya sedikit horor yang dibuat dengan serius. Mayoritas film horor di tahun 2012 masih mencampur-adukkan bumbu erotis dan komedi slapstick. Setan yang harusnya menakut-menakuti, malah menjadi bulan-bulanan. Jose Poernomo coba mengembalikan horor ke kodratnya lewat Rumah Kentang. Alih-alih mengeksploitasi kemunculan hantu sampai penonton jengah, Rumah Kentang hadir dengan alur yang rapi. Penonton tak dibuat lelah dengan penampakan dan scoring mengejutkan. Jose yang menyutradarai dan menulis film produksi Hitmaker ini, memberikan banyak ruang untuk penonton mengenal masing-masing karakter utama. Chemistry yang kuat berhasil dibangun Shandy Aulia-Tasya Kamila sebagai tokoh utama. Memasang kakak-adik perempuan sebagai karakter sentral sudah sering diangkat horor Asia (Jepang, Korea, Hong Kong). Tapi Jose meminimalisir citarasa Asia dengan menyelipkan mitos-mitos lokal seperti Jelangkung, dan cara memanggil setan lainnya. Ketegangan pun terjaga sampai film ini sampai pada klimaksnya.
9. RAYYA CAHAYA DI ATAS CAHAYA (Sutr. Viva Westi)
Road movie ternyata masih dibuat sineas tanah air. Ini kabar baik, menandakan idealisme sineas tanah air yang rajin mengeksploitasi cara bertutur dan bermain-main dengan genre ternyata belum luntur. Hingga pertengahan 2000-an kemarin, sineas kita masih rajin bereksperimen dengan road movie (Banyu Biru, Tiga Hari untuk Selamanya), tapi pasca sukses box office Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi rasanya produser dan sutradara sudah tahu film apa yang bakal laku: religi diselipi asmara dan kisah inspiratif orang sukses. Film ini di awal kurang lancar ditonton, tapi ke sananya asyik. Momen-momen terbaik Rayya sebagai road movie adalah ketika Rayya (Titi Sjumaan) dan Arya (Tio Pakusadewo) bertemu orang-orang di sepanjang perjalanan mereka dari Jakarta hingga Bali. Dan demikianlah, setiap Rayya bertemu dengan orang-orang di setiap perjalanannya, filmnya seakan memancarkan energi lain yang menarik perhatian saya. Filmnya jadi bukan semata film dengan bahasa gambar yang indah dan orang berteriak membacakan puisi-puisi galau mau bunuh diri segala. Filmnya, terutama, punya humor yang tulus. Kita diajaknya tertawa dengan getir.
8. TEST PACK: YOU'RE MY BABY (Sutr. Monty Tiwa)
Test Pack: You're My Baby mencoba menyasar segmen yang jarang terjamah: rumah tangga pasangan muda. Konflik yang diusung film karya sutradara Monty Tiwa; pasangan suami istri yang tak kunjung dikaruniai anak, sebenarnya tidak original-original amat. Namun untuk level film nasional, tak banyak yang mengangkat problematika ini. Diadaptasi dari novel karya Ninit Yunita, Test Pack mengambil sudut pandang perempuan dalam menampilkan konflik. Reza Rahardian, seperti biasa tampil memukau. Ia tak kesulitan memainkan Rahmat, karakter suami galau yang secara tak sadar tertekan dengan keinginan sang istri untuk punya anak, dan ditambah kehadiran mantan pacar yang pernah amat ia cintai. Acha Septriasa, pelakon istri yang rindu kehadiran anak, terlihat begitu meyakinkan. Acha sangat menghayati perannya. Naik turun emosinya, ekspresi wajah dan intonasi, memaksa penonton simpati dan memihak pada karakter yang diperankannya. Chemistry dengan Reza terjalin begitu hangat.Imej Luna dari film Heart yang melekat padanya, tak lagi terlihat saat melakonkan karakter Tata. Sungguh layak jika ia mendapat Piala Citra tahun 2012 lewat film produksi Starvision ini.
7. HABIBIE & AINUN (Sutr. Faozan Rizal)
Nama Faozan Rizal hampir selalu hadir di film-film karya sutradara Hanung Bramantyo. Coba tengok Get Married, Ayat-ayat Cinta, dan Perahu Kertas. Ada nama Faozan sebagai Penata Kamera. Meski telah menyutradarai beberapa film indie, Habibie & Ainun adalah film layar lebar perdana Faozan sebagai sutradara. Faozan boleh bangga karena debutnya sebagai sutradara berhasil dengan baik. Habibie & Ainun ibarat mesin waktu romansa cinta B.J Habibie dan Hasri Ainun. Bertutur secara linear, Habibie & Ainun membangun emosi penonton dengan pace yang pas. Meski sebagian adegan diambil di Jerman, Faozan tak terlena mengeksplorasi keindahan negara tersebut. Tetap, fokus utama pada Habibie dan Ainun yang diperankan oleh Reza Rahardian dan Bunga Citra Lestari. Reza berhasil menjadi Habibie dalam film produksi MD Pictures ini. Gestur, intonasi dan logat, sampai ekspresi muka, amat mendekati sosok asli mantan presiden RI itu. Demikian pula BCL, yang pada awalnya tak berperan banyak, menampilkan totalitas di klimaks film ini. Sebagai film "penguras" airmata, Ginatri S. Noer dan Ifan Ismail tidak membuat tokoh-tokoh film ini menjadi cengeng. Justru ketegaran karakter-karakternya yang berperan dalam mengaduk emosi penonton.
6. DEMI UCOK (Sutr. Sammaria Simanjuntak)
Setelah nonton Cin(T)a beberapa tahun lalu, saya sudah jatuh cinta dengan Sammaria Simanjuntak. Dengan modal skenario cerdas, ia bisa melahirkan film yang sama cerdasnya cukup dengan sedikit pemain. Nah, Demi Ucok ini adalah lompatan quantum berikutnya. Film ini membuktikan, ia tak sekadar sutradara yang bisa bikin film indie bertema berat dengan modal minim yang production value-nya kecil. Film komedi situasi macam begini dulu hanya bisa lahir dari tangan kaliber macam Nya Abbas Akup atau Chaerul Umam. Tapi, untuk ukuran sineas pasca 2000-an, Sammaria berhasil mengawinkan tradisi lokal (kisah ibu yang ingin anaknya buru-buru menikah dengan pria Batak pilihannya) dengan referensinya pada perfilman dunia (mulai dari Yasmin Ahmad sampai film tentang film semisal Adaptation-nya Charlie Kaufman dan Spike Jonze), menghasilkan film komedi yang tak hanya lucu, jujur, dan cerdas, tapi juga sangat khas generasinya.
5. ATAMBUA 39 DERAJAT CELCIUS (Sutr. Riri Riza)
Betapa bersyukurnya kita, Riri Riza tidak terjebak ke dalam "nasionalisme semu" lewat Atambua 39º Celcius. Riri tidak sedang berkhotbah lewat tokoh-tokohnya yang telah memilih menyebrang ke Indonesia dari Timor Leste. Lewat tokoh-tokohnya, Riri justru sedang menawarkan tesis anti-nasionalisme. Pada akhirnya, kesetiaan tertinggi seorang individu hendaklah bukan pada negara. Tapi pada tempat/wilayah yang menjanjikan kehidupan lebih baik. Kita melihat, nasib Joao dan Ronaldo tak semakin baik setelah jadi warga Indonesia. Di Timor Leste, Joao dan Ronaldo justru punya keluarga yang masih menantinya. Bagi kaum "nasionalis keren" tesis ini mungkin terasa tak nyaman. Namun, di lain pihak, tesis ini terasa masuk akal. Apalagi ketika kita tahu pemerintah tak memberi penghidupan yang layak bagi mereka, saudara-saudara kita di Atambua sana, yang sudah memilih Indonesia. Anda boleh merasa tak nyaman. Tapi, Riri sudah bicara jujur. Untuk itu, ini salah satu film terbaik yang sudah dibuatnya setelah Eliana, Eliana.
4. LOVELY MAN (Sutr. Teddy Soeriaatmadja)
Di Lovely Man ada degan buka jilbab. Tapi alih-alih sebentuk pelecehan agama, adegan itu terasa tepat. Kita seolah dibuat mafhum ya memang tokoh kita Cahaya (Raihannun) harus membuka jilbabnya agar ia bisa lebih cair mengobrol dengan ayahnya yang ketika ditemuinya juga tak berwujud ayah kebanyakan, tapi seorang banci Taman Lawang bernama Ipuy (Donny Damara). Kita lantas melihat hubungan ayah dan anak yang tak lagi terasa ganjil. Sedikit demi sedikit Ipuy dan Cahaya bisa berinteraksi, saling mengobrol. Ya, mungkin hanya dengan cara membuka jilbab segalanya mencair. Premis Lovely Man karya Teddy Soeriaatmadja (penulis dan sutradara) mencoba menghadirkan ironi: bagaimana bila sosok ayah yang tak pernah dijumpai berwujud seorang waria? Apa yang akan terjadi di antara ayah dan anak ini. Sebuah penolakan? Atau, pada akhirnya, penerimaan? Kita juga lantas tahu Cahaya tak sekadar datang mencari ayahnya untuk sekadar bertemu. Ia juga tengah "lari" dari persoalannya yang pelik. Drama ayah dan anak tak pernah segetir sekaligus seindah ini dalam film Indonesia sebelumnya.
3. MODUS ANOMALI (Sutr. Joko Anwar)
Joko Anwar menempatkan dirinya di tempat khusus di jagat sinema tanah air. Hanya dengan 4 film panjang selama 7 tahun karier profesionalnya sebagai sineas, Joko telah menorehkan namanya sebagai brand yang baik. Tidak banyak sineas kita yang jarang membuat film, tapi namanya jadi acuan. Dari satu film ke film lain, Joko menunjukkan kepiawaian mengolah bahasa film semakin baik. Film-filmnya adalah lompatan dari satu level ke level lain. Joko tidak menyuguhi setiap filmnya dengan gaya bertutur seragam. Dari film A ke film B selalu ada yang beda. Saat mengulas film ini saya menulis, lewat Modus Anomali "Joko memang hanya menyuguhkan kita dunianya—sebuah hutan di negeri antah berantah atawa 'random country' dengan orang-orangnya berkulit sawo matang tapi bercakap-cakap dalam bahasa Inggris." Dalam ulasan saya usul, menonton film ini tak perlulah membawa pisau bedah siap mencacah filmnya dengan berbagai pandangan kritis. "Menonton Modus Anomali ya cukup dengan menontonnya. Tak perlu bawa pisau bedah sendiri. Joko sudah menyediakannya di layar untuk kita, termasuk parang dan panah," tulis saya. Keasyikan menonton Modus Anomali memang terletak pada sesedikit mungkin Anda tahu filmnya tentang apa.
2. MATA TERTUTUP (Sutr. Garin Nugroho)
Mata Tertutup jelaslah film Garin Nugroho yang paling mudah diikuti dan punya pesan paling jelas. Di Mata Tertutup, Garin tak bergenit-genit ria menyuguhkan bahasa simbol. Gambarnya sederhana. Cerita dituturkan lewat serangkaian dialog dan kejadian yang runut. Walau ada 3 kisah, editingnya rapi. Setiap kisah jalin-menjalin mengisi benak kita dari awal hingga akhir. Film ini diniatkan untuk dipertontonkan di sekolah-sekolah sebagai bagian dari pengajaran membantu memberi pemahaman atas kehidupan beragama di Indonesia. Sebagai film pendidikan, tentu tak elok bila sineasnya egois sok nyeni tapi pesannya tak sampai ke penonton. Dengan mudah, orang akan menyebut film ini anti NII (Negara Islam Indonesia), mengajak agar setiap orang waspada pada gerakan ini karena NII telah mencerabut anak-anak dari keluarganya. Film ini juga akan dengan mudah disebut sebagai kritik pada radikalisme agama, agar setiap orang tidak mudah terbujuk rayu menjadi teroris atas nama agama. Dengan mata terbuka, saya melihat Mata Tertutup tak sebatas film pendidikan yang punya pesan kewaspadaan pada NII maupun radikalisme agama. Pembiaran atawa absennya negara yang jadi penyebab chaos yang saat ini. Negara telah menutup matanya dengan melakukan pembiaran.
1. THE RAID (Sutr. Gareth Evans)
The Raid punya plot sederhana. Sekelompok pasukan polisi khusus menyerbu sebuah gedung sarang penjahat. Pertarungan berlangsung dari satu tingkat ke tingkat lain. Itu saja. Namun, saya yakin, untuk waktu yang lama, The Raid pastilah akan diingat-ingat setiap orang yang sudah menontonnya. The Raid adalah jenis film yang memberi pengalaman baru dalam ritual menonton film. Tidak pernah sebelumnya, dalam ukuran film manapun, apalagi Indonesia, sebuah film menampilkan adegan laga dengan begitu keras, begitu brutal. Saat menonton The Raid terjadi momen yang jarang muncul di bioskop. Penonton berkali-kali tepuk tangan usai sebuah adegan laga. Penonton menikmati dan larut dalam ekstase kekerasan. Kenapa penonton sampai bertepuk tangan? Jawabnya karena adegan duelnya begitu hebat ditata dan kekerasannya begitu vulgar, seolah baru pertama kali disaksikan penonton di bioskop. Usai sebuah adegan laga, kita jadi bertanya-tanya, apa adegan laga berikutnya bakal lebih hebat lagi. Dan ternyata yang ditampilkan betulan lebih hebat lagi. Gareth Evans, Iko Uwais, Yayan Ruhian, maupun Joe Taslim berhak atas setiap kesuksesan yang mereka raih pasca The Raid, karena mereka telah menyuguhkan pengalaman menonton paling baik tahun ini.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar