Mendefinisikan Kebahagiaan

Bookmark and Share
Kebahagiaan…, sering sekali kita mendengarnya. Bahkan hampir tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang tidak ingin mendapatkannya. Namun apabila kita tanyakan kepada mereka, apakah yang mereka maksud dengan kebahagiaan, maka niscaya ribuan jawaban akan terlontar dari mulut mereka. Sekelompok orang akan mengatakan bahwa kebahagiaan adalah melimpahnya harta dan berbagai kesenangan dunia. Sekelompok orang yang lain akan mengatakan bahwa kebahagiaan adalah kebebasan untuk berkreasi dan keberhasilan menyingkap rahasia-rahasia ilmu pengetahuan. Ada lagi yang mengatakan bahwa kebahagiaan adalah ketenangan hati dan bebas dari rasa takut dan kesedihan. Saudaraku, apabila kita cermati sekali lagi sekian banyak jawaban mereka maka tidak ada jawaban yang bisa melegakan hati orang yang beriman kecuali firman Allah dan sabda Rasul-Nya serta untaian nasihat para ulama. Simaklah sebuah do’a yang indah dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah bagi setiap muslim yang membaca kitabnya Al Qawa’idul Arba‘. Beliau berkata, “Aku memohon kepada Allah yang Maha Pemurah, Rabb pemilik Arsy yang Maha Besar, semoga Allah menjagamu di dunia dan di akhirat dan menjadikanmu mendapatkan keberkahan di manapun kamu berada, dan menjadikanmu bersyukur jika diberi nikmat, bersabar jika ditimpa cobaan dan beristighfar jika terjerumus dalam dosa. Karena sesungguhnya tiga hal itulah ciri utama kebahagiaan.”
Syukur tatkala mendapatkan nikmat
Hakikat syukur adalah mengakui di dalam hati bahwa nikmat yang diperolehnya berasal dari Allah, kemudian menampakkan rasa syukurnya itu dengan memuji Allah serta menggunakan nikmat yang diberikan itu dalam rangka melakukan ketaatan. Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk bersyukur di dalam firman-Nya yang artinya, “Dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian kufur.” (QS. Al Baqarah: 152). Di dalam ayat lain Allah telah menjanjikan bagi orang yang bersyukur bahwa dia akan mendapatkan tambahan nikmat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh jika kalian bersyukur niscaya Aku benar-benar akan menambahkan (nikmat) kepada kalian, dan apabila kalian justru ingkar maka sesungguhnya siksa-Ku amatlah pedih.” (QS. Ibrahim: 7). Walaupun demikian ternyata hanya sebagian kecil hamba Allah yang pandai bersyukur. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan amat sedikit diantara hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS. Saba’: 13). Padahal tidakkah kita sadar bahwa sekian banyak nikmat yang ada pada diri kita ini semuanya berasal dari Allah saja. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan nikmat apapun yang ada pada diri kalian maka itu semua berasal dari Allah.” (QS. An Nahl: 53). Apabila kita ingin menghitung seluruh nikmat itu, pasti tidak ada seorang manusia pun yang sanggup menghitungnya. Sebagaimana telah difirmankan oleh Allah Ta’ala yang artinya, “Dan jika kalian berusaha menghitung nikmat Allah maka kalian tidak akan mampu menghingganya.” (QS. Ibrahim: 34).
Nah, lalu dengan alasan apakah kita menyombongkan diri atau bahkan mengingkari sekian banyak nikmat ini? Tidakkah kita ingat bagaimana buah dari kecongkakan Qarun yang berani berkata, “Sesungguhnya ini semua aku dapatkan hanya berkat ilmu yang aku punyai.” Maka apakah yang diperolehnya ? Sebuah siksa yang sangat mengerikan. Semua harta yang dibangga-banggakannya dibenamkan ke dalam perut bumi oleh Allah bersama tubuhnya. Duhai, adakah orang yang mau mengambil pelajaran?!!
Bersabar ketika mendapatkan cobaan
Cobaan adalah satu hal yang pasti dialami setiap insan. Oleh karena itu, Allah berfirman di dalam Al Qur’an yang artinya, “Dzat yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapakah diantara kalian yang paling baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2). Dalam ayat lain Allah menyatakan, “Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa lapar serta ketakutan dan kekurangan harta, maka berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar…” (QS. Al Baqarah: 155).
Sabar tatkala mendapatkan cobaan artinya menahan diri untuk tidak menyimpan kemarahan di dalam hati kepada keputusan Allah, menahan diri dari mengucapkan kata-kata laknat atau meratap atau caci maki, dan juga menahan anggota badan dari melakukan tindakan-tindakan yang merupakan pelampiasan kemarahan dan tidak menerima takdir seperti menampar-nampar pipi, merobek-robek kain atau bahkan menjerit-jerit. Kenapa hal-hal itu tidak diperbolehkan? Alasannya adalah karena sikap–sikap tersebut mencerminkan ketidakpuasan terhadap takdir yang sudah ditetapkan oleh Allah. Padahal Allah itu Maha bijaksana dan Maha adil. Allah tidak pernah menganiaya hamba-Nya. Allah berfirman yang artinya, “Dan Rabbmu tidak pernah menganiaya siapapun.” (QS. Al Kahfi: 49). Pada hakikatnya musibah yang menimpa kita adalah akibat kesalahan kita sendiri. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan musibah apapun yang menimpa kalian maka itu terjadi karena ulah perbuatan tangan-tangan kalian, dan Allah memaafkan banyak kesalahan orang.” (QS. Asy Syura: 30)
Maka sebenarnya kalau kita menyadarinya maka sudah semestinya kita bersabar dalam menghadapinya. Karena dengan kesabaran itu kita akan meraih pertolongan dari Allah. Bukankah Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfaal: 46). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudah menjanjikan, “Sesungguhnya pertolongan itu datang bersama dengan kesabaran.” (HR. Abdu bin Humaid dengan sanad dha’if)
Beristighfar ketika terjerumus dalam dosa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua anak Adam pasti berbuat dosa. Dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang gemar bertaubat.” (Hasan, HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Hakim) Oleh sebab itu orang yang terjerumus dalam perbuatan dosa wajib bertaubat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala memerintahkan semua orang yang beriman untuk bertaubat kepada-Nya. Allah berfirman yang artinya, “Dan bertaubatlah kalian semua wahai orang beriman agar kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31).
Taubat itu akan diterima jika dilakukan dengan ikhlas dan penuh penyesalan. Selain itu seorang yang bertaubat dari suatu dosa harus meninggalkan perbuatan dosanya itu serta bertekad kuat di dalam hati untuk tidak melakukannya lagi. Apabila dosa itu menyangkut dengan hak orang lain maka harus mengembalikan hak orang tersebut atau minta maaf kepadanya. Dan taubat akan diterima jika dilakukan sebelum nyawa berada di tenggorokan dan sebelum matahari terbit dari sebelah barat.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka janganlah kalian berputus asa terhadap rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan mengampuni seluruh dosa.” (QS. Az Zumar: 53) Ayat ini berlaku bagi orang yang bertaubat. Maka dosa apapun yang pernah kita perbuat maka kewajiban kita adalah segera bertaubat darinya. Karena menunda-nunda taubat adalah dosa. Duhai, tahukah kita kapan kita akan mati sehingga demikian lancangnya kita menunda-nunda taubat? Sampai kapankah kelalaian ini akan kita teruskan? Apakah yang akan kita dapatkan dengan sekian banyak dosa yang pernah kita lakukan? Kesenangankah ataukah justru sebaliknya? Lalu mengapa kita menunda-nunda taubat? Apakah kita akan mengikuti rayuan iblis yang akan menyeret kita ke dalam neraka? Wahai saudara-saudaraku, siapakah kita apabila dibandingkan dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal beliau saja dalam sehari bertaubat seratus kali. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia bertaubatlah kalian kepada Allah. karena sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya sebanyak seratus kali dalam sehari.” (HR. Muslim). Kalau Nabi saja yang sudah dijamin masuk surga seperti ini, lantas bagaimana lagi dengan kita? Akankah kita tetap bertahan dengan dosa yang menghitamkan hati dan perlahan-lahan menyeret kita ke jurang neraka?!! [Ari Wahyudi]
buletin.or.id

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Powered By Blogger